KOMJEN POL. DHARMA PONGREKUN

Segera Revolusi Lembaga Penegak Hukum

\"Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan\".   Oleh : Komjen Pol. Dharma Pongrekun Kalimat tersebut terlihat singkat, tetapi memiliki makna yang sangat fundamental, karena takut akan Tuhan adalah sumber hukum yang terutama dan tertinggi dalam kehidupan setiap manusia beriman.  Takut dalam hal ini bukan berarti mengerikan atau menyeramkan, melainkan menunjukkan sikap hormat, menjunjung tinggi, menundukkan diri kepada kedaulatan, keagungan dan kekudusan Tuhan serta mentaati perintah-perintah-Nya, karena dengan sikap takut akan Tuhan tersebut akan memampukan kita untuk selalu bisa bertindak secara benar. Tetapi kenyataannya sistem yang berlaku di dunia ini justru menggiring setiap manusia untuk takut pada \"UANG\" dan tidak takut akan Tuhan lagi. Padahal kita tahu, bahwa TUHAN adalah sumber hikmat tertinggi, karena itu setiap orang perlu datang kepada sumber hikmat supaya menjadi orang yang berhikmat, hidup bijaksana, bermoral tinggi dan selaras dengan kehendak Tuhan. Itulah makna yang sesungguhnya dari manusia fitrah dan ini adalah wujud dari insan Nuswantara. Nuswantara adalah mahluk mandiri yang selalu tunduk kepada Tuhan.  Lalu apa yang dimaksud dengan \"pengetahuan\" disini? Pengetahuan akan kebenaran dihadapanTuhan, sehingga kita dapat membedakan manakah kehendak Tuhan: apa yang baik, yang berkenan kepadaNya dan yang sempurna. Sedangkan berhikmat sangat diperlukan dalam mengambil keputusan hidup agar selalu tepat  mengikuti seluruh rencanaNya dalam menjalani kehidupan, sehingga kita tidak lagi berjalan berdasarkan hasrat hati yang tidak benar.  Alangkah indahnya kalau pendidikan dikembalikan seperti dulu, saat barangsiapa menuntut ilmu bertujuan meraih ridho Allah, bukan untuk tujuan meraih harta duniawi. Karena mereka yang melakukannya untuk meraih harta duniawi tidak akan mencium bau surga. Sufyan Ats-Tsauri R.A. berkata, “Ilmu dipelajari hanya untuk dijadikan sarana menuju ketakwaan kepada Allah. la memiliki kelebihan yang tak dimiliki yang lain karena fungsinya sebagai sarana pengantar ketakwaan kepada Allah Ta\'ala tersebut. Jika fungsi ini tidak teraplikasikan dan tujuan penuntut ilmu telah tercemar dengan keinginan mendapatkan pencapaian duniawi seperti harta dan tahta, maka pahala menuntut ilmu hangus, amal perbuatannya dihapus, dan dia merugi dengan sejelas-sejelasnya.” Singkatnya pendidikan harus mengutamakan \"akhlak\" agar menjadikan \"manusia beradab\". Oleh sebab itu takut akan Tuhan harus menjadi dasar kita untuk memperoleh pengetahun, hikmat dan didikan Tuhan sebagai kekaguman yang penuh hormat pada kuasa, kemuliaan dan kekudusan Tuhan. Namun pada kenyataannya sikap takut akan Tuhan sudah hampir menjadi barang langka di negeri ini kalaupun ada justru diposisikan sebagai musuh kelompok yang sedang menikmati permainan tersebut, karena tergerus oleh Sistem yang  diberlakukan di negeri ini yang mengadadopsi nilai-nilai, prinsip-prinsip dan budaya dari Sistem Kapitalis Barat yang ditujukan untuk menggiring  setiap manusia untuk lebih mengutamakan cinta akan uang dari pada takut pada Tuhan. Mungkin banyak diantara kita yang tidak menyadarinya, karena tanpa disadari selama ini kita sudah terdoktrin akan pentingnya \"UANG\" dalam kehidupan kita untuk menggeser kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta dalam hidup kita.  Diawali dari Sistem Pendidikan yang selama ini kita lalui mulai dari bangku sekolah, dimana kita telah diajar untuk mengenal perbandingan nilai dari setiap gambar angka-angka mulai dari angka 0 (nol) sampai dengan angka 9 (sembilan) yang pada akhirnya tanpa kita sadari telah terdoktrin dan membentuk karakter dari setiap peserta didik, lalu diajarkan juga untuk berkompetisi bukannya bekerja sama untuk berpacu saling mengejar nilai ulangan atau ujian  yang akan menjadi patokan ranking ataupun kelulusan. Intinya bagaimanapun caranya diakhir masa pendidikan para murid atau siswa bisa mendapatkan selembar Ijazah sebagai tanda sudah dinyatakan lulus dari setiap level pendidikan yang telah dilalui dan dengan modal Ijazah tersebutlah mereka jajakan untuk mendapatkan pekerja demi menerima gaji bulanan. Itulah sebabnya mengapa \"ANGKA\" menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kebanyakkan orang yang tidak takut akan Tuhan, bahkan muncullah anekdot \"wani piro\" dalam setiap transaksi kehidupan yang menghancurkan integritas. Padahal Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing (keberagaman) untuk saling melengkapi dan bukan diciptakan seragam, tetapi justru manusia digiring untuk menjadi seragam dalam pemahaman dan karakternya. Jadi terbentuklah pemahaman yang sesat, kalau tidak seragam maka akan dilabel sebagai bukan bagian dari pada kelompoknya atau dianggap ekstrem atau bahkan bisa dianggap musuh. Disitulah letak doktrin yang menyesatkan, sehingga banyak diantara kita yang terjebak dalam sistem yang ada ini, sehingga banyak yang \"takut menghadapi resiko\" kehilangan kenyamanan kalau berbuat benar atau setidak-tidaknya ingin menarik diri dari lingkungan yang tidak benar tersebut, karena sadar akan kekeliruannya selama ini. Disitulah sebenarnya letak terbentuknya karakter cinta akan uang, karena sudah terdoktrin sejak masih dibangku sekolah, karena yang pemahaman kehidupan dibangun berdasarkan angka  pada setiap peserta didik. Seperti hemat pangkal kaya dan dilatih menabung yang mana bukan membuat seseorang menjadi dermawan, tetapi malah jadi pribadi yang pelit, karena kalau berbagi artinya jumlahnya akan berkurang, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan hukum Tuhan yakni \"semakin banyak menabur semakin banyak menuai, dan orang yang memberi tidak akan pernah berkekurangan\". Sebenarnya apa yang selama ini dan sedang terjadi dalam Sistem Hukum kita yang adalah bagian dari pada turunan Sistem Perpolitikan di negara kita juga yang justru semakin menjadi-jadi pada Era Reformasi sampai dengan sekarang yang semuanya dilandasi dengan ukuran angka dalam menentukan ukuran keberhasilan atau kemenangan seseorang atau kelompok. Namun tanpa disadari hal tersebut justru sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari kelima Sila dari Pancasila yang mana Ideologi utama tersebut tercantum pada alinea keempat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: 1. Ketuhanan yang Maha Esa : Nilai luhurnya adalah \"ikhlas\". Maknanya: Tuhan sebagai pencipta itu Esa dan mulia  yang menciptakan keberagaman, sehingga kita yang adalah ciptaanNya harus \"ikhlas\" menerima perbedaan dan harus saling memuliakan. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab : Nilai luhurnya  adalah \"menerima, menikmati dan menghargai\". Maknanya: Kita sebagai ciptaanNya harus menerima, menikmati dan menghargai ciptaanNya tanpa menilai dan membandingkan, karena kita semua milikNya barulah kita bisa menjadi manusia beradab. 3. Persatuan Indonesia : Nilai luhurnya adalah \"bersyukur\". Maknanya: Kita sebagai ciptaanNya harus bersyukur terhadap apapun yang kita terima baik atau tidak baik sebagai hadiah terindah dari Tuhan, barulah kita bisa menjalin Persatuan yang solid di bangsa ini. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan : Nilai luhurnya adalah \"tulus\". Maknanya: Kita sebagai ciptaanNya harus selalu mendahulukan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan pribadi ataupun kelompok, karena hidup ini adalah ibadah untuk memuliakanNya. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia : Nilai luhurnya adalah \"bahagia bersama\". Maknanya:  Kita sebagai ciptaanNya harus selalu hidup untuk menjadi manfaat bagi masyarakat, bukan sebaliknya menjadi bencana demi kebahagiaan bersama masyarakat Indonesia. Kelima nilai luhur tadi adalah pintu gerbang menuju manusia yang fitrah sebagai insan Nuswantara. Nu: Makluk, Swa: Mandiri, Anta: Menuju, Ra: Sang Pencipta. Memang kita harus tunduk pada hukum positif yang berke-Tuhanan bukan justru takut pada manusianya seperti yang selama ini kita lihat dan rasakan, karena setiap manusia pada hakekatnya  bertanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan sebagai penciptanya. Namun tidak sedikit juga hukum positf dan peraturan yang diberlakukan justru bertentangan dengan kelima sila dari Pancasila, padahal ketentuannya semua Perundang-undangan dan Peraturan apapun yang ada di negeri ini haruslah tunduk pada Pancasila, karena Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia, sehingga semua peraturan harus sesuai dengan Pancasila karena seperti yang kita ketahui, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, maka artinya segala hukum termasuk segala peraturan yang ada harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang bermakna takut akan Tuhan. Namun apa yang terjadi di Indonesia, dimana Sistem Hukumnya menganut Civil Law (Eropa Kontinental) adalah sistem hukum yang berlaku di negara-negara bekas daerah jajahan Belanda , maka berdasarkan asas konkordansi berlakulah Civil Law. Artinya Sistem Hukum yang diterapkan di bangsa Indonesia adalah warisan dari penjajah. Memang untuk merubah sistem hukum yang sudah mendarah daging tidaklah mudah, tetapi setidaknya  kita dapat mencarikan jalan keluarnya dengan pemahaman sebagai berikut : Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Artinya, hukum itu bukan menjadi titik sentranya, tetapi pada manusianya itu sendiri. Kedua, hukum itu tidak legalistik semata-mata, tetapi hukum itu dapat berubah apabila masyarakat menghendaki untuk merubahnya, agar hukum bukan justru mengobarkan masyarakat. Ketiga, hukum difokuskan kepada perilaku manusia dengan menjunjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan dalam masyarakat. Dari kondisi tersebut diatas, maka dirasakan perlu segera merevolusi Sistem Hukum yang sudah ada dengan yang lebih relevan sesuai dengan kebutuhan perkembangan  zaman di Era Digitalisasi ini yang mengakomodir rasa keadilan masyarakat.  Caranya dengan melakukan transplantasi antara sistem hukum yang sudah ada dengan sistem hukum lain atau baru dan tentunya dengan melakukan harmonisasi sesuai dengan kondisi dan situasi yang lebih relevan dengan rasa keadilan masyarakat. Namun yang terlebih penting dari pada itu semua adalah bagaimana cara merestorasi mental dari pada setiap para pelaku penegak hukum itu sendiri di semua Lembaga Penegakan Hukum yang memiliki rasa takut akan Tuhan yang sungguh-sungguh dimulai dari Kepalanya masing-masing sebagaimana pepatah kuno namun masih tetap relevan sampai saat ini yakni \"ikan busuk dari kepalanya\", dimana seorang \"Kepala\" haruslah menjadikan dirinya sebagai contoh yang hidup bagi semua bawahannya, maka vibrasinya akan menular bagaikan virus kepada lingkungan sekitarnya yang semakin lama radiasinyapun akan semakin luas. Bagaikan \"teori orang mandi\" membersihkan tubuhnya dari kepala dulu, maka secara perlahan tubuhnyapun akan ikut bersih. Kepala melambangkan \"pikiran\" dan bawahan melambangkan anggota tubuh yang akan memanifestasikan apa yang ada dalam pikiran. Jangan lagi kita hidup dengan teori \"cuci muka\" yakni hidup dalam kepalsuan citra diri yang tanpa kita sadari telah memanipulasi jiwa kita sendiri. Demikian juga sebaliknya \"bawahan\" harus memiliki keberanian untuk menolak perintah apapun yang tidak benar, karena kuatnya rasa takut akan Tuhan sesuai dengan sumpahnya. Oleh karena itu, maka peradaban Sistem Hukum yang ada sekarang ini harus segera direvolusi secara terstruktur, sistematis dan massive dengan didasari landasan kuatnya rasa takut akan Tuhan saja. Jadi setiap Kepala mulai dari Kepala rumah tangga sampai dengan Kepala dari suatu lembaga penegak hukum mutlak harus memiliki \"akhlak\" agar dapat membawa bawahannya menjadi \"manusia yang beradab\". Dengan demikian diharapkan sistem hukum memiliki wibawa yang bermartabat dan masyarakat dapat dengan ikhlas dikendalikan tentunya dengan mengedepankan keadilan yang dilandasi rasa takut akan Tuhan.  Inilah solusi praktis dalam merevolusi peradaban sistem hukum di negara kita, yakni dengan merestorasi mental para penegak hukum dengan menanamkan rasa takut akan Tuhan sebagai penciptanya dimana setiap pribadi disadarkan kembali bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah sementara dan pasti akan kita tinggalkan, namun setelah itu masing-masing kita harus mempertanggung jawabkan setiap perbuatan kita pada hari penghakiman dimana pembela kita bukanlah manusia, tetapi Dia yang empunya kerajaan Surga. Jadi mulai dari saat ini kita harus menjalin hubungan spiritual yang intens denganNya dan  mematuhi segala perintahNya diatas perintah manusia. Untuk itulah kita disumpah sebelum menerima tugas dan tanggung jawab dalam setiap jabatan yang akan kita emban. Saya yakin dan percaya kalau hal-hal tersebut kita lakukan dengan ikhlas, karena takut akan Tuhan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang diberkati bukan saja menjadi bangsa pemenang bahkan lebih dari pemenang. ***